Jenderal Urip Sumoharjo, mungkin nama ini tidak setenar jenderal besar yang lain, seperti, misalnya, Jenderal Sudirman. Namun, sosok Jenderal Urip Sumoharjo ini ternyata punya peran besar bagi terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang saat ini menjadi payung keamanan negara Republik Indonesia. Karena itu, bersama Jenderal Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo diakui sebagai bapak Angkatan Perang Republik Indonesia.
Jenderal Oerip Soemohardjo (EYD: Urip Sumoharjo; lahir 22 Februari 1893 – meninggal 17 November 1948 pada umur 55 tahun) adalah seorang jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Lahir di Purworejo, Hindia Belanda, Oerip kecil adalah anak nakal yang sudah memperlihatkan kemampuan memimpin sejak usia dini.
Berkiprah di dunia militer, sebenarnya bukan menjadi cita-cita seorang Urip Sumoharjo kecil. Cita-citanya adalah menjadi pegawai pemerintahan, sehingga ia menempuh pendidikan di OSVIA (Sekolah Calon Pegawai Pemerintah) di Magelang. Namun, saat menjalani pendidikan calon pegawai di OSVIA, timbul dorongan dari dalam dirinya untuk menjadi tentara. Karena itulah, ia memutuskan keluar dari OSVIA kemudian masuk sekolah militer di Jakarta. Pada 1913, ia lulus dari sekolah tersebut dengan menyandang status sebagai perwira teladan karena nilai yang diperolehnya sangat bagus.
Setelah lulus dari sekolah militer, ia kemudian menjadi salah satu tentara di KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger). Walaupun KNIL merupakan bentukan Kerajaan Hindia-Belanda, namun banyak pribumi yang masuk menjadi tentara KNIL, diantaranya adalah Urip Sumoharjo, A.H Nasution, Gatot Subroto, T.B Simatupang dan sebagainya. Para sosok inilah yang kemudian memiliki andil besar bagi perjalanan kemiliteran di tanah air, khususnya pada masa kemerdekaan.
Saat masuk KNIL, Urip Sumoharjo berpangkat letnan dua. Ia pernah ditempatkan di Kalimantan dan Padang Panjang, Sumatera Barat. Sebagai seorang perwira, ia dinilai cukup berhasil terutama dalam tugas-tugas patroli. Hingga kemudian, ia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor dalam KNIL, namun ia tidak menyetujui semua tindakan pemerintah jajahan seperti diskriminasi. Di Banjarmasin, ia memprotes peraturan yang melarang pewira Indonesia memasuki kamar bola. Di Balikpapan Urip pun menantang peraturan yang melarang orang-orang Indonesia naik kereta api milik BPM.
Menjadi pemimpin Angkatan Bersenjata Tertinggi
Tanggal 31 Agustus 1938, di Purworejo dilangsungkan upacara ulang tahun Ratu Wilhelmina. Urip Sumoharjo diangkat sebagai ketua panitia. Salah seorang undangan yakni Bupati Purworejo datang terlambat. Ia melarang Bupati memasuki tempat upacara karena melanggar aturan yang sebelumnya sudah ditetapkan. Kasus tersebut dilaporkan kepada Departemen Perang, ternyata Jenderal Urip Sumoharjo disalahkan. Kemudian ia dipindahkan ke Gombong, karena merasa tidak bersalah, ia akhirnya minta berhenti dari dinas militer.
Setelah PD II, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Ia mendaftarkan kembali dan diserahi tugas memimpin depo Cimahi. Pada tahun 1942, semua tentara Belanda ditawan Jepang, termasuk Urip Sumoharjo. Setelah Urip Sumoharjo dibebaskan, Jepang menawarkan jabatan sebagai komandan polisi namun ia menolaknya. Atas sikap penolakan ini, Jepang melakukan pengawasan ketat terhadap Urip Sumoharjo.
Memasuki zaman kemerdekaan, Urip Sumoharjo mengusulkan agar pemerintah segera membentuk tentara. Usul itu disetujui kemudian berdiri Tentara Keamanan rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 (tanggal 5 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi TNI). Saat itu, ia masih berada di Gentan, di daerah Yogyakarta. Sementara teman-temannya bekas KNIL yang berada di Jakarta mengusulkan kepada Pemerintah agar ia diangkat menjadi pimpinan TKR.
Selanjutnya Urip Sumoharjo mengumpulkan teman-temannya bekas KNIL untuk bersama-sama membuat atau mengeluarkan pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL. Pernyataan itu ditandatangani 13 orang. Pada 15 Oktober 1945, Urip Sumoharjo pun kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letjen. Tugasnya pun cukup berat, mengingat jumlah tentara cukup banyak sedangkan organisasinya belum teratur.
Dalam posisinya sebagai pemimpin tertinggi TKR, Urip Sumoharjo terus berupaya menyempurnakan keorganisasian tentara hingga kelak TKR berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada 1948, Urip Sumoharjo mengundurkan diri dari jabatan sebagai Kepala Staff Umum TKR. Hal itu karena ia tidak setuju dengan Perjanjian Renville yang dianggapnya banyak merugikan Indonesia. Namun, kemudian, ia diangkat sebagai penasihat militer Presiden Soekarno.
Melewati berbagai perjalanan panjang semasa hidupnya, termasuk kiprah pentingnya dalam dunia kemiliteran, Jenderal Urip Sumoharjo kemudian wafat pada 17 November 1948. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara, pemerintah telah menganugerahinya gelar Pahlawan Pembela Kemerdekaan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 314/Tahun 1964, tanggal Desember 1964.
Jasa-jasa yang diberikan oleh Jenderal Urip Sumoharjo, khususnya dalam sejarah perjalanan TNI, membuat sosok pahlawan ini mendapatkan apresiasi. Di salah satu ruangan Museum Satria Mandala yang beralamat di Jalan Gatot Subroto No. 14 Jakarta Selatan, beragam prestasi dan perjalanan hidup Jenderal Urip Sumoharjo bisa kita saksikan dan telusuri.
Di ruangan yang bernama Koleksi Dwi Tunggal ini, beragam foto dokumentasi kegiatan sosok yang pada masa kecilnya bernama Muhammad Siddik ini bisa kita temui, menghias pada dinding-dinding ruangan. Selain itu, pada ruangan ini, juga terdapat beberapa koleksi lain terkait aktifitas sang jenderal, diantaranya adalah meja dan kursi yang dulu selalu digunakan di kediaman beliau, meja kerja, juga ada patung sebagai lambing apresiasi terhadap pahlawan yang kini namanya diabadikan menjadi salah satu Jalan penting di Yogyakarta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar