Jumat, 04 April 2014

Sejarah Berdirinya PDI Perjuangan

LAHIRNYA NAMA PDI PERJUANGAN
 

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dilatarbelakangi dengan peristiwa 27 Juli 1996, dimana ketika itu kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih. Hal ini juga menjadi momentum bagi Megawati Soekarno Putri untuk tampil di kancah perpolitikan Indonesia. Sebelum peristiwa ini, ia sudah tercatat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan anggota Komisi I DPR RI. Namun setelah kejadian tersebut, namanya pun semakin dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Nama PDIP semakin menggema di negeri ini, terutama ketika menjelang pemilu tahun 1999. Karena di tahun tersebut, PDI berubah nama menjadi PDIP dan partai ini pun siap menghadapi pemilu pertamanya. Hal ini membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang begitu besarnya dari masyarakat menjadikannya sebagai pemenang pemilu dan berhasil menempatkan ratusan kadernya di parlemen. Dalam perjalannya, sang ketua umum yakni Megawati sebagai Wakil Presiden mendampingi KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang terpilih di dalam sidang Paripurna MPR sebagai Presiden RI ke-4.
GABUNGAN 5 FUSI PARTAI MENJADI PDI
Sejarah PDI berawal dari penggabungan atau fusi dari 5 parpol, yakni PNI, Parkindo, Partai katolik, Murba dan IPKI. Kelimanya memiliki latar belakang, basis sosial, ideologi dan sejarah perkembangan yang berbeda. Fusi dilakukan ketika diselenggarakannya Kongres Serindo I di Kediri, 29 Januari - 1 Febuari 1946. Sumber dukungan pedesaan ini terutama bertumpu pada elit desa (para pamong dan lurah) dan juga birokrasi pemerintahan. Partai ini adalah partai massa bukan partai kader atau partai program karenanya massa aksi menjadi salah satu alat politik penting.
Fusi lima parpol berlangsung pada 10 Januari 1973 yang kini dirayakan sebagai hari ulang tahun PDI Perjuangan. Proses ke arah fusi merupakan inisiatif presiden yang diwujudkan dalam bentuk rangkaian konsultasi antara presiden dengan para tokoh parpol. Konsultasi pertama dilakukan secara kolektif dengan tokoh-tokoh dari 9 parpol pada 7 Januari 1970.
Dalam kesempatan ini Presiden melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok, masing-masing menekankan pada aspek materiil dan spirituil. Dengannya, akan terbentuk dua kelompok, materiil-spirituil dan spirituil-materiil. Dalam pertemuan ini juga terungkap bahwa ide tersebut berkaitan dengan keinginan Presiden untuk menciptakan stabilitas yang disebutkan sebagai “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971.
 

TRAGEDI 27 JULI 1996
Seiring perjalanannya PDI terus bongkar pasang dalam struktur pimpinan. Sampai pada suatu kepemimpinan Soerjadi yang saat itu dikecam oleh pemerintah di masa orde baru. Kehendak penguasa untuk mengakhiri karier Soerjadi sudah bulat. Sejumlah “dosa politiknya” terhadap Orba mengharuskan ia dikubur, sama dengan para senior sebelumnya. Kongres Medan dipersiapkan untuk itu. Tapi, Soerjadi memutuskan untuk mencoba melawan. Akibatnya, “aklamasi” bagi kembali berkuasanya Soerjadi dilakukan tubuh ini. Tapi ini melahirkan penentangan luas, apalagi kehendak penguasa memang bergerak ke arah itu. Kontroversi yang terus berlangsung akhirnya ditemukan jalan keluarnya lewat penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.
Perjalanan KLB Surabaya memunculkan figur baru yang lebih mengancam kelangsungan Orba yakni  Megawati Soekarno Putri. Karenanya, segala kemungkinan cara akhirnya ditempuh penguasa untuk menghalangi kemunculan figur ini. Tetapi tekad arus bawah, dukungan publik dan media, serta konsistensi sikap membawa kemenangan de facto bagi Megawati untuk memimpin DPP. Keputusan KLB sudah tentu ditolak penguasa. Kekuatan-kekuatan rezim yang berada dalam parpol terus dimobilisasi untuk menggagalkan hal ini. Tapi hasilnya sangat mengcewakan rezim. Akhirnya, lewat proses Munas di Jakarta, penguasa dengan terpaksa harus mengakui legalitas formal Mega sebagai pimpinan baru.
Tapi ini tidak membuat penguasa berputus asa. Segala jalan tetap ditempuh untuk menyudahi perannya, apalagi tanda-tanda bahwa PDI akan menjadi kekuatan sangat berpengaruh mulai jelas tampak di bawah kepemimpinan Megawati. Mencari figur untuk “mengimbangi” Mega dalam pengaruh di arus bawah bukan pekerjaan mudah. Sejumlah tokoh senior partai seperti Budi Hardjono sudah coba diplot. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Dalam kepanikan inilah figur Soerjadi kembali dilirik.
Soerjadi memiliki keunggulan. Ia sempat membangun jaringan struktur partai yang cukup solid hingga ke daerah-daerah. Kekuatan inilah yang akhirnya dipakai. Dan Soerjadi sepakat pada ide ini. Dalam konteks inilah, sebuah persekongkolan dibangun. Muncul tuntutan dari daerah-daerah untuk menyelenggarakan KLB guna mengakhiri kepemimpinan Mega. Dan ini harus segera karena Pemilu akan digelar. Untuk itu semua jaringan institusi teritorial tentara dan birokrasi daerah diperintahkan untuk sepenuhnya berada di balik gagasan KLB. Teror, intimidasi, iming-iming dan masih banyak lagi langkah disiapkan di daerah-daerah. Sementara di tingkat DPP lebih dari sebagian anggota DPP digarap. Hasilnya adalah KLB. Tapi ini justru melahirkan penentangan lebih luas. Arus bawah, media, pengamat dan berbagai komponen lainnya melakukan perlawanan serentak. Hasil akhirnya adalah DPP kembar.
Di tingkat Jakarta dan daerah, perlawanan kolektif yang melibatkan elemen lebih luas, termasuk LSM, terhadap hasil KLB muncul secara konsisten. Di tengah-tengah keputusasaan ini, cara kekerasan dijadikan pilihan oleh penguasa. Hasilnya adalah Peristiwa 27 Juli 1996 yang memakan korban jiwa dan harta benda yang besar. Peristiwa ini melahirkan kehebohan politik maha besar, bahkan hingga ke dunia internasional. Mega dan PDI dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Godaan untuk melakukan perlawanan masif terbuka, apalagi dukungan rakyat demikian kongkrit. Tetapi akhirnya Mega memutuskan untuk menggunakan instrumen legal untuk menyudahi kasus ini. Munculah TPDI yang secara konsisten menguasai dan sekaligus mendikte opini publik.
 

BANGKITNYA MEGAWATI DAN PDI PERJUANGAN
 

Di luar perhitungan penguasa, peristiwa kelabu 27 Juli justru berbalik menjadi titik awal kebangkitan perlawanan masif terhadap Orba. Dan ini dibuktikan dengan jelas dari meluasnya aksi perlawanan terhadap Orba dan hilang totalnya suara PDI Soerjadi dalam Pemilu 1997. Hal ini tidak terlepas dari keluarnya “Perintah Harian Ketua Umum”, yang sekalipun sangat terselubung karena hanya menegaskan akan absen dalam menggunakan hak pilihnya merupakan seruan bagi boikot politik yang terbukti sangat efektif. Saat itulah PDI resmi berganti nama menjadi PDI Perjuangan. Simbol partai yang awalnya hanya berlambang kepala banteng di dalam bentuk segi lima berubah menjadi lambang banteng di dalam lingkaran.
KAMPANYE MEGA-BINTANG DI PEMILU 1997
Masih di tahun yang sama, Megawati pernah membantu kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat itu ditengah kampanye dialogis yang membosankan, arak-arakan PPP menampilakan aliansi baru yakni “Mega-Bintang”. Bentuk dukungan ini bisa dikatakan sebagai simbiosis mutualisme, karena keduanya memiliki keuntungan. Dua wilayah PPP mencalonkan Megawati sebagai calon presiden. Lalu mungkinkah pendukung Megawati menyalurkan suaranya untuk PPP?, dan jawabannya adalah iya.
Dalam kampanye PPP, yang diarak-arak tidak hanya lambang bintang saja tapi juga atribut-atribut bergambar Megawati. Padahal sebelumnya putri dari proklamator ini telah menyatakan tidak ambil bagian dalam kampanye, tapi namanya terus dielu-elukan di panggung kampanye. Suasana kampenye pun semakin panas, bahkan tak jarang dari massa yang tampak memegang kartu pengenal yang bergambar Megawati dan dibaliknya ada logo bintang.
Tidak hanya itu, dari atas truk yang padat sejumlah anak muda berseragam hijau-hijau terus berteriak, “Mega-bintang.... Mega-bintang.... hidup Mega.... hidup bintang”. Selain meneriakkan yel-yel dukungan untuk Mega, massa juga membawa dan menempelkan gambar putri bung Karno itu di mobil-mobil. Kampanye itu seperti menandai keangkitan PPP di Jakarta. Selain itu, kampanye tersebut juga diramaikan oleh massa yang mengelu-elukan Megawati Soekarno Putri.
Mengapa isu Mega-Bintang muncul? Mungkin ini semacam "sambutan" pihak PDI Pro Megawati yang biasa disebut pers sebagai PDI Perjuangan atas pencalonan Megawati sebagai presiden RI oleh PPP Solo dan Samarinda. Bahkan, PPP Samarinda pada 8 Mei lalu mencalonkan dua tokoh sekaligus sebagai calon presiden RI : Megawati dan Buya Ismail Hasan Metareum. PPP Solo memajukan Megawati sebagai presiden RI pada tanggal 2 Mei 1997 lalu.
Faktor lain munculnya Mega-Bintang tentulah "kesumpekan" para pendukung Megawati terhadap kondisi Partai Banteng yang kini dipimpin Soerjadi. Mereka benar-benar seperti kehilangan arah. Karena, Mega sampai kini belum lagi memberikan semacam "dawuh" tentang apa yang harus dikerjakan pendukungnya.
(Dikutip dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar