Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah catatan sejarah yang sampai saat ini
keabsahannya masih menjadi kontroversi. Secara umum, isi Supersemar adalah
perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jendral Soeharto saat itu yang secara
implisit mengalihkan tanggung jawab kepresidenan.
Adapun
latar belakang keluarnya Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 ini, versi
resminya adalah sebagai berikut. Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer
terhadap sisa-sisa G-30-S/PKI boleh dikatakan sudah selesai, hanya penyelesaian
politik terhadap peristiwa tersebut belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno.
PKI belum dibubarkan. Sementara krisis ekonomi semakin parah. Laju inflasi
mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965 bahkan dilakukan devaluasi, uang
bernilai Rp 1.000,00 turun menjadi Rp 1,00. Sementara itu, harga-harga
membumbung naik. Hingga pada bulan Januari 1966 para mahasiswa dan pelajar yang
tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia) dengan salah satu pentolannya Soe Hok Gie telah
melakukan aksi demonstrasi kepada pemerintahan Soekarno. Selama 60 hari, dengan
dipelopori para Mahasiswa Universitas Indonesia, seluruh jalanan ibukota
dipenuhi demonstran. Aksi yang dilancarkan melalui demonstrasi maupun melalui
surat kabar tersebut intinya mengecam Soekarno dan jajarannya yang tidak peduli
kepada rakyat. Mreka menyampaikan Tri tuntutan rakyat (Tritura), yang isinya:
Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Sementara
itu, sejak terjadinya peristiwa gerakan 30 September 1965, terjadi perbedaan
pendapat antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto yang menjabat
sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Perbedaan pendapat berfokus pada cara
untuk mengatasi krisis nasional yang semakin memuncak setelah terjadinya G-30-S
tersebut. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan rakyat tidak akan reda selama
PKI tidak dibubarkan. Sementara Soekarno mengatakan bahwa ia tidak mungkin
membubarkan PKI karenahal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah
dicanangakan ke seluruh dunia. Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam
pertemuan-pertemuan berikunya di antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakn
diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden.
Pada
tanggal 11 Maret 1966, Kabinet yang dijuluki “Kabinet 100 menteri”
(karena jumlah menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna untuk
mencari jalan keluar dari krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa mengadakan
pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika Presiden
berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden)
memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada
jaminan dari Pangdam Jaya brigjen Amir Mahmud, bahwa keadaan tetap aman,
Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana
Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrie dan Dr. Khairul Saleh.
Setelah
itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran),
Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustriian), dan Brigjen Amir Mahmud, dengan
seizin atasannya yaitu Jenderal Soeharto yang menjabat Menpangand merangkap
Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di sana ketiganya
mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga Waperdam, yaitu
Dr. Soebandrio, Dr. Khairul Saleh dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan yang
berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang tepat untuk
menghadapi keadaan dan memulihkan keadaan presiden.
Akhirnya
Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah yang ditujukan kepada
Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang kepada Jenderal
Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara, menjaga ajaran Bung
Karno, menjaga keamanan Presiden, dan melaporkan kepada Presiden. Jadi Soeharto
diberi kewenangan untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu guna
mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan Presiden. Teks surat dirumuskan
oleh ketiga wakil perdana menteri bersama perwira tinggi AD yang disebut di
atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagaisekretaris surat itu kemudian
ditandatangani oleh Presiden. Serah terima secara resmi Surat Perintah 11 Maret
1966 dari ketiga Perwira Tinggi TNI-AD kepada Presiden Soeharto
dilaksanakan saat itu juga, sekitar pukul 21.00 WIB, bertempat di Markas
Kostrad. Surat inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas
Maret (Super Semar).
Lepas
tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan
dasar hukum surat perintah tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di
seluruh Indonesia terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri
yang dinilai terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura,
sudah dilaksanakan, Namun kewibawaan Presiden Soekarno tidak pulih. Antara
tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno sebagai
presiden dan Soeharto sebagai Pengemban Super Semar yang dikukuhkan dalam
ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.
Soeharto
kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas pokok
memulihakan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik kepemimpinan
tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto selaku Pengemban
Tap No. IX/MPRS/66.
Surat
Perintah Sebelas Maret ini yang banyak dipublikasikan adalah versi resmi dari
Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi
Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ada yang mengatakan nasakah aslinya sebanyak
dua halaman, di pihak lain ada yang menyebutnya hanya satu halaman (seperti
versi resminya).
Adapun
menurut H.M. Yusuf Kalla yang merupakan orang kepercayaan Jenderal Yusuf –salah
satu saksi hidup pada pembuatan Supersemar- mengatakan bahwa naskah asli
Supersemar sebenarnya ada di tangan mantan Presiden Soeharto. Hal itu
disampaikan Kalla di sela-sela kedatangannya melayat Jend. Andi Muhammad Yusuf,
Kamis 9 September 2004. “Naskah aslinya, itu di tangan Pak Harto sebenarnya.
Karena pada waktu malam itu, beliau (Jenderal Jusuf) menyerahkan ke Pak Harto,”
kata Kalla. Saat ditanya soal kemungkinan adanya kopian yang dipegang Jend.
Yusuf, Kalla mengatakan, “Tentu banyak dokumen-dokumen di tangan dia (Jenderal
Jusuf). Dokumen-dokumen yang menyangkut tugas-tugas. Tapi itu milik pribadi
beliau.” (dari www.tempointeraktif.com)
Nah,
peristiwa 11 Maret ini sering dikatakan sebagai kudeta terselubung dari
Soeharto terhadap Soekarno, padahal atas dasar beberapa referensi yang saya
dapat, hal ini sebenarnya kurang tepat.
Secara
pengertian, kudeta (coup d’etat) merupakan pengambilan atau penggulingan
kekuasaan (seizure of, topple of, state power) secara paksa dan mendadak. Atau
bisa diartikan bahwa ketika terjadi kudeta dari A ke B, maka saat itu juga si A
kehilangan kekuasaan dan si B mengemban kekuasaan sepenuhnya.
Dengan adanya
Supersemar, Letjen. Soeharto saat itu belum menjadi penguasa tertinggi di
Indonesia. Secara de facto dan de jure, Soekarno masih berstatus Kepala Negara,
Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, bahkan Pemimpin
Besar Revolusi. Banyak diceritakan bahwa Soekarno didesak untuk melakukan
perlawanan fisik terhadap klik Soeharto, namun Soekarno yang cinta damai
menolaknya dan memilih untuk melewati jalan damai akan konflik politiknya
dengan Soeharto.
Soekarno
sendiri dalam setiap kesempatan terus menerus menyampaikan penolakan terhadap
tekanan-tekanan Soeharto. Sedikitnya, ia sering membantah laporan luar negeri
bahwa dirinya telah digulingkan oleh Soeharto. Berikut adalah pernyataannya
yang ia sampaikan pada sambutan Peringatan Idul Adha di Masjid Istiqlal 1 April
1966, 3 minggu stelah keluarnya Supersemar.
“Sang
duta besar kita harus menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat
kabar- surat kabar nekolim itu tidak benar. President Soekarno has not been
toppled, Presiden Soekarno tidak digulingkan. President Soekarno has not been
ousted. Presiden Soekarno tidak ditendang keluar. President Soekarno is still
president. Presiden Soekarno masih tetap presiden. Presiden Soekarno is still
supreme commander of the armed forces. Presiden Soekarno masih tetap Panglima
Tertinggi daripada Angkatan Bersenjata!”
Adapun
mengenai Supersemar itu sendiri, pada sambutannya memperingati 40.000 jiwa
pahlawan Sulawesi Selatan di Istora pada 10 Desember 1966, Soekarno
mengingatkan bahwa:
“It
(Supersemar) is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini
sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya
pemerintahan, untuk ini, untuk itu, untuk itu. Perintah itu bisa juga saya
berikan, misalnya, kepada Pak Mul. Muljadi Pangal (Panglima Angkatan Laut,
pen.). Saya bisa juga perintahkan kepada Pak Sutjipto Judodihardjo, apalagi dia
itu Pangak (Panglima Angkatan Kepolisian, pen.). Saya bisa: He, Sdr. Tjip
Pangak, saya perintahkan kepadamu untuk keamanan, kestabilan jalannya
pemerintahan. Untuk keamanan pribadi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dan
lain-lain sebagainya. I repeat again: it is not a transfer of authority.
Sekadar satu perintah! Mengamankan! ”
Namun
sejarah mencatat bahwa Soeharto memanfaatkan Supersemar untuk sedikit demi
sedikit mengambil alih kekuasaan Soekarno. Bahkan dia memantapkan tujuannya itu
dengan cara merekayasa terselenggaranya Sidang Umum (SU) MPRS pada Juli 1966.
Hasilnya, 2 ketetapan yang “mendukung” Soeharto, keluar, yaitu TAP No. IX/1966
dan TAP No. XV/1966. Dengan adanya ketetapan ini maka seolah Supersemar telah
“dikukuhkan”, dari hanya “sekedar” perintah eksekutif, menjadi “ketetapan” yang
hanya MPR itu sendiri yang berkewenangan untuk mencabutnya. TAP yang pertama
memberikan jaminan terhadap Letnan Jendral Soeharto, untuk setiap saat menjadi
presiden “apabila Presiden berhalangan”. Namun, MPRS saat itu tidak memberikan
penjelasa apapun tentang apa yang dimaksud dengan “berhalangan”.
Sejak
SU MPRS ini, kesan terjadinya dualisme kepemimpinanpun semakin hebat. Padahal
dualisme kepemimpinan ini hanya rekayasa. Yang sebenarnya terjadi adalah adanya
semacam perlawanan politik dari Soeharto kepada Soekarno. Apapun yang diucapkan
Soekarno, selalu mendapat penentangan dari militer yang sepenuhnya dikendalikan
Soeharto, serta para mahasiswapun terus-menerus berdemonstrasi di seluruh
pelosok tanah air.
Di
satu pihak, Soeharto hampir sepenuhnya mengambil alih kekuasaan, di pihak lain
Soekarno terus-menerus meneriakkan bahwa dirinya masih Presiden dan Panglima
Tertinggi yang sah.
“Dualisme
kepemimpinan nasional” yang semakin kuat ini menimbulkan isu publik bahwa
penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto merupakan jalan terbaik
untuk mengakhiri krisis politik. Karena bargaining power-nya yang
semakin lemah, Soekarno tidak punya pilihan lain kecuali berkapitulasi.
Beberapa permintaannya pun ditolak, seperti jaminan keamanan dan sebagainya.
Maka,
pada 20 Februari 1967 sekitar pukul 5 sore Soekarno di Istana Merdeka
menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan. Soeharto datang sendiri
ke Istana didampingi beberapa petinggi militer. Namun, pengumumannya ditunda
hingga “saat yang tepat”. Oleh sebagian sejarawan, peristiwa 20 Februari
1967 inilah yanga dikategorikan sebagai “kudeta” Soeharto terhadap Presiden
Soekarno. Dengan dokumen tersebut, Soekarno kehilangan semua kekuasaannya.
Sebaliknya, Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.
Tanggal
22 Februari 1967 pagi, berita tentang penyerahan kekuasaan Soekarno kepada
Soeharto ternyata sudah bocor ke luar. Bahkan sudah ada koran yang
memberitakannya Menjelang pengumuman dokumen penting itu pada 22 Februari
1967 pukul 19:00, Soekarno dengan wajah kesal bertanya kepada Soeharto yang
duduk disampingnya sambil menunjuk-nunjuk Koran yang dimaksud: “Kenapa
beritanya sudah bocor?” Soeharto jawab sambil tersenyum: “Cuma menerka-nerka
saja……”
Perhatikan
Diktum pertama pengumuman Presiden Soekarno pada 22 Februari 1967 ini: “Kami
Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti ABRI terhitung mulai hari ini menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Jenderal
TNI Soeharto sesuai dengan ji- wa Ketetapan MPRS No XV/ MPRS/1966 dengan tidak
mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.”
Jadi, penyerahan
kekuasaan Soekarno kepada Soeharto didasarkan pada TAP MPRS No XV/MPRS/1966
yang menyatakan bahwa “Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Surat
Presiden 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden”. Tapi, apakah Soekarno ketika
itu berhalangan atau berhalangan tetap sehingga ia tidak lagi bisa menjalankan
kekuasaannya? Tidak, menurut Prof. Dahlan Ranuwihardjo, yang saya kutip dari
http://www.suarapembaruan.com, Soekarno sehat
wal’afiat ketika mengumumkan transfer of power-nya di Istana. Secara
fisik, ia masih gagah perkasa, apalagi muncul dengan seragam kebesarannya,
lengkap dengan segala atribut kehormatan di dadanya yang bidang. Soekarno
sengaja dibuat “berhalangan” – dalam arti pemerintahannya tidak lagi efektif,
selama kurang-lebih 8 bulan oleh klik militer pimpinan Soeharto, sehingga
timbul kesan berbahaya karena Indonesia tidak memiliki pemerintahan yang
efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar