A. Sejarah Kurban
Jika dirunut secara historis, peristiwa penyembelihan hewan
kurban ini terjadi sejak jaman Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad SAW
dan umatnya. Pada zaman Nabi Adam, kisahnya terdapat padaSurat Al-Maidah
ayat 27: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan
tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti
membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)
dari orang-orang yang bertakwa".Allah memerintah Adam agar
mengawinkan Qabil dengan saudara perempuan kembar Habil yang bernama
Labuda yang tidak bagus rupa, dan mengawinkan Habil dengan saudara
perempuan kembar Qabil yang bernama Iqlima yang cantik rupa. Pada saat
itu Adam dilarang Allah mengawinkan perempuan kepada saudara
laki-lakinya yang kembar. Namun Qabil menolak hal ini, sementara
Habil menerima. Qabil ingin kawin dengan saudara perempuan kembarnya
sendiri yang cantik rupa. Maka Adam menyuruh kedua anaknya untuk
berkurban, siapa yang diterima kurbannya, itu yang menjadi suami bagi
saudara perempuan kembar Qabil yang cantik. Kemudian kedua anak Adam itu
berkurban, Habil adalah seorang peternak kambing dan ia berkurban
dengan Kambing Qibas yang berwarna putih, matanya bundar dan
bertanduk mulus, dan berkurban dengan jiwa yang bersih. Sementara
Qabil adalah tukang bercocok tanam, Ia berkurban dengan makanan yang
jelek, dan niat yang tidak baik. Maka diterima kurbannya Habil dan tidak
diterima kurbannya Qabil. Dan kurban-kurban itu diletakkan di sebuah
gunung dan tanda diterimanya kurban itu ialah dengan datangnya api dari
langit lalu membakarnya. Dan ternyata api menyambar Kambing Qibas kurbannya Habil, sebagai tanda diterima kurbannya. Melihat hal demikian Qabil marah, dan membunuh saudaranya.
Pada masa nabi Idris, bagi kaumnya ditetapkan hari-hari
raya pada waktu-waktu yang tertentu serta berkurban. Di antaranya saat
terbenam matahari ke ufuk dan saat melihat hilal. Mereka diperintah
berkurban antara lain dengan al-Bakhûr (dupa atau wangi-wangian), al-Dzabâih (sembelihan), al-Rayyâhîn (tumbuhan-tumbuhan yang harum baunya), di antaranya al-Wardu (bunga ros), dan al-hubûb biji-bijian, seperti al-Hinthah (biji gandum), dan juga berkurban dengan al-Fawâkih (buah-buahan), seperti al-‘Inab (buah
anggur). Sedangkan pada zaman Nabi Nuh, sesudah terjadi banji, Nabi Nuh
membuat tempat yang sengaja dan tertentu untuk meletakkan kurban, yang
nantinya kurban tersebut sesudah diletakkan di tempat tadi dibakar.
Adapun pada masa Nabi Ibrahim, dapat dipahami dari Al-Qur’an Surat
Ash-Shaffaat ayat 102:“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". Dalam mimpinya,
Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi
Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan bermimpi lagi dengan
mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya di Mina,
Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim
kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat
tinggalnya, Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, syetan
menggoda Siti Hajar: “Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa
parang akan menyembelih anakmu Ismail?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil
berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau diapakan anakku?” Tapi
Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT tersebut. Setibanya
di Jabal Kurban, sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya, Nabi Ibrahim
melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun
berubah drastis, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat
Ash-Shaffaat ayat 103-107: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran
keduanya. Dan Kami panggillah Dia: "Hai Ibrahim, “Kamu telah membenarkan
mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang
yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar “.
Penyembelihan kurban berlaku juga hingga zaman Nabi Musa As.
Nabi Musa membagi binatang yang disediakan untuk kurban kepada dua
bagian, sebagian dilepaskan saja dan dibiarkan berkeliaran sesudah
diberi tanda yang diperlukan. Dan sebagian lagi disembelih. Pada zaman
Bani Israil, jika seorang dari mereka berkurban, orang-orang keluar
menyaksikan apakah kurban mereka itu diterima atau tidak. Jika diterima
datang api putih (Baidhâ`u) dari langit membakar apa yang dikurbankan. Jika kurbannya tidak diterima, api itu tidak muncul. Dan rupa api itu Lâ dukhâna lahâ wa lahâ dawiyun (api
yang tidak berasap dan berbunyi). Dan bila seorang laki-laki dari
mereka (Bani Israil) bershadaqah, jika diterima turun api dari langit,
lalu membakar apa yang mereka sodaqohkan. Nabi Zakaria dan Nabi Yahya
adalah di antara nabi dan rasul dari Bani Israil, pada keduanya ada
kurban. Dan kurbannya adalah binatang dan Amti'atun (barang-barang)
lalu dibakar api. Bangsa Yahudi merupakan sebagian dari bani Israil.
Sementara Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya’qub. Nabi Ya’kub
bergelar, Israil. Pada bangsa Yahudi terdapat kurban yang biasa
mereka lakukan demikian juga pada bangsa Nasrani. Kurban pada bangsa
Yahudi dan bangsa Nasrani, yaitu melakukan pengurbanan dengan membakar
sebagai sesaji yang bertujuan mengingat-ingat kesalahan, yaitu dengan
menyembelih sapi dan kambing jantan yang mulus, tidak cacat. Dengan
menghidangkan: tepung, minyak dan susu. Kurban karena adanya
ketentraman, sebagai rasa syukur kepada Tuhannya. Kurban pada bangsa Nasrani, antara lain: Persembahan missa seorang Kahin
berupa roti dan arak. Yang menurut keyakinan pada mereka hakekatnya,
roti dan arak yang mereka kurbankan ditukar dengan daging dan darah al-Masih.
Selanjutnya, bangsa Arab Jahiliyah juga suka berkurban. Kurban
mereka dipersembahkan untuk berhala-berhala yang mereka sembah.
Kurbannya ada binatang yang disembelih untuk berhala, dan ada binatang
yang dilepas bebas berkeliaran, juga untuk berhala. Cara kurban Arab
Jahiliyah, yaitu mereka jika menyembelih binatang kurban, seperti unta,
mereka percikan daging dan darahnya pada al-bait (ka’bah). Jika mereka
menyembelih binatang, memercikan darahnya pada permukaan ka’bah, dan
memotong-motong dagingnya lalu mereka simpan di atas batu. Selain kurban
yang disembelih, juga ada kurban Jahiliyah yang dilepas untuk sembahan
mereka, yaitu Bahîrah, sâibah, washîlah, hâm. Sembelihan
Jahiliyyah itu terbagi tiga: 1) Untuk mendekatkan diri kepada sesuatu
yang dipuja. Sembelihan untuk maksud ini dibakar, mereka ambil kulitnya
saja, dan mereka berikan kepada Kahin (dukun), 2) Untuk meminta ampun. Untuk maksud ini, dibakar separuh, dan separuhnya lagi diberikan kepada kahin (dukun),
3). Untuk memohon keselamatan. Untuk maksud ini mereka makan. Pada
waktu Ayah Nabi, Abdullah bin Abdul Muthalib, belum dilahirkan. Abdul
Muthalib pernah bernazar kepada berhalanya, bahwa jika anaknya laki-laki
sudah ada sepuluh orang, maka salah seorang dari mereka akan dijadikan
kurban di muka berhala yang ada di sisi Ka'bah yang biasa di puja oleh
bangsawan Quraisy. Oleh sebab itu, setelah istri Abdul Muthalib
melahirkan anak laki-laki maka mereka itu genaplah sepuluh orang. Abdul
Muthalib bermimpi pada suatu malam ada suara yang memanggil, yang ia
tidak mengerti maknanya, yaitu: Ihfir Thayyibah!, lalu pada malam kedua bermimpi lagi: Ihfir Barrah!, berikutnya bermimpi, Ihfir Madhmûnah! dan malam keempat suara dalam mimpinya yaitu: Ihfir Zamzam!.
Setelah itu baru ia mengerti dan bermaksud untuk melaksanakan mimpinya
itu. Sebelum pelaksanaan kurban itu, Abdul Muthalib mengumpulkan semua
anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian telah
jatuh pada diri Abdullah. Padahal Abdullah itu seorang anak yang paling
muda, yang paling bagus rupanya, dan yang paling dicintainya. Tetapi apa
boleh buat, undian jatuh kepadanya, dan Abdullah menurut saja apa yang
menjadi kehendak ayahnya.
Seketika tersiar kabar di seluruh kota Mekkah, bahwa Abdul
Muthalib akan mengurbankan anaknya yang paling muda. Namun ketika itu
orang-orang Quraisy menolak dan menghalanginya. Hingga mereka mendatangi
seorang al-‘Arâfat yaitu kahin di Yatsrib. Kahin Yatsrib
menghukumi mereka supaya mengundi antara Abdullah dengan unta. Bila
keluar unta, maka sembelih unta. Jika yang keluar Abdullah maka setiap
kali keluar diganti dengan 10 ekor unta. Lalu mereka kembali ke Makkah,
dan melakukan undian antara Abdullah dengan 10 ekor unta. Undian pertama
keluar Abdullah, lalu diganti dengan 10 ekor unta. Hal ini berulang
sampai undian yang kesembilan yang keluar Abdullah, baru yang kesepuluh
keluar unta. Maka Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan 100 ekor
unta untuk berkurban. Dan dengan demikian Abdullah urung untuk dijadikan
kurban oleh ayahnya. Dengan adanya peristiwa itu, maka Nabi Muhammad
SAW setelah beberapa tahun lamanya menjadi Rasul pernah bersabda: “Aku
anak laki-laki dari dua orang yang disembelih "Ibnu Dzabihain"."
Nabi Muhammad SAW melakukan kurban pada waktu Haji Wada di
Mina setelah solat Idul Adha. Beliau menyembelih 100 ekor unta, 70 ekor
disembelih dengan tangannya sendiri dan 30 ekor disembelih oleh
Sayyidina Ali Ra. Allah berfirman: "Dan telah Kami jadikan untuk
kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian
apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri
makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur."(Al
Hajj: 36). Ayat ini menjelaskan binatang yang dijadikan kurban, tujuan
kurban, cara menyembelih hewan kurban, kapan memakan daging kurban,
siapa yang dapat memakan daging kurban.
Dari syari’at kurban pada zaman Nabi Ibrahim yang diteruskan
oleh Nabi Muhammad SAW seperti yang diuraikan di atas, maka umat Islam
mengadakan penyembelihan hewan kurban di saat Idul Adha.Allah berfirman
dalam Surat Al-Kautsar ayat 1-3: “Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan
berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang
terputus.” Bagi orang yang akan menyembelih hewan kurban diwajibkan untuk menyebut nama Allah, sebagaimana firman-Nya: “Dan
bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
direzekikan Allah kepada mereka….”(QS. Al-Hajj: 34). Seraya berdo’a:”Bismillaahi Walloohu Akbar, Alloohumma minka walaka, Alloohumma Taqobbal Minnii.”
(Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah! Ini dari-Mu dan hanya
untuk-Mu. Ya Allah! Terimalah kurban ini dariku).” (HR. Muslim).
Sementara hadits-hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain: “Siapa
yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berkurban,
maka janganlah ia mendekati tempat salat Id kami.” (HR. Ahmad dan Ibn
Majah); Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai
Rasulullah SAW, apakah kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Kurban adalah
sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan
yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap
satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau
bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu
kebaikan.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah); “Jika masuk tanggal 10 Dzulhijjah
dan ada salah seorang di antara kalian yang ingin berkurban, maka
hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” (HR. Muslim); “Kami
berkurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang,
satu sapi untuk tujuh orang.“ (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
B. Hikmah Berkurban
Ibadah kurban sangat kaya akan pelajaran atau ‘itibar bagi umat Islam, antara lain:
- Al-Ikhlaasu Fil-‘Amal.Ibadah kurban merupakan pendidikan keikhlasan dalam beramal. Niat kurban itu hanya untuk dan demi menuju ridha Allah semata (Taujiihul ‘Ibaadah Libtighaai Mardhootillaah). Tidak boleh disertai kepentingan lain, selain lillahi rabbil'alamin. Syi'ar kurban bukan ajang pamer kekayaan dan kemewahan, melainkan kebanggaan dan keunggulan beribadah yang ditujukan hanya untuk Allah Yang Maha Kaya, sebagaimana bunyi do'a: "Warzuqnaa wa anta khairur-raaziqiin,” Ya Allah, beri kami rezeki, sebab Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Rezeki." (QS. Al-Maidah: 114). Allah ingin menanamkan pembelajaran motivasi pada kita semua, agar melepaskan baju kepentingan apapun, di luar kepentingan Tauhidullah semata. Dan ini tercermin dalam do'a kurban:”Bismillaahi Walloohu Akbar, Alloohumma minka walaka,Alloohumma Taqobbal Minnii.”(Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah! Ini dari-Mu dan hanya untuk-Mu. Ya Allah! Terimalah kurban ini dariku).” Seorang Muslim yang berkurban pada setiap tahunnya berarti ia telah melakukan sebuah latihan beramal yang diliputi oleh rasa ikhlas. Ikhlas dalam beramal merupakan salah satu kunci dalam beribadah kurban, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Teladan Nabi Ibrahim adalah merupakan sebuah contoh yang sangat monumental yang patut ditiru oleh generasi Muslim sepanjang zaman. Perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim serta anak beliau Nabi Ismail yang berjuang menaklukkan godaan syaitan. Syaitan membujuk mereka supaya mengurungkan perintah Allah dengan tidak perlu menyembelih putera tersayang Ismail yang remaja belia yang diharapkan menjadi pengganti dan penerus cita-cita menegakkan dan mendakwahkan kalimat tauhid yang menjadi inti aqidah Islam.Kalau bukan karena kecintaan Allah SWT dan keyakinan yang mendalam atas keagungan dan kebesaran serta rahmatNya, maka mustahil seseorang mampu mengorbankan sesuatu yang berharga yang merupakan milik satu-satuya yang dimilikinya. Inilah puncak kecintaan dan ketulusan kepada Allah, yang sekaligus merupakan bukti nyata Nabi Ibrahim a.s yang telah benar-benar lulus menghadapi ujian yang sangat serius dari Allah. Kenyataan ini menjadi contoh teladan yang baik sekali bagi manusia dan kemanusiaan yang secara fitrah manusia itu cenderung kepada penghambaan diri hanya kepada Allah, yang dimanifestasikan dalam bentuk ibadah. Karena untuk kepentingan beribadah itulah manusia itu diciptakan oleh Allah. Dan dengan jiwa keibadahan itulah manusia mampu mencapai kesucian jiwa.
- Al-Ihsaan Fil-Udlhiyyah. Dalam praktek penyembelihan kurban ini ada tujuan ihsan, antara lain dengan menyayangi binatang, seperti dalam hadits Syaddab bin Aus Al Anshari ra, Shahih Muslim (3:1548), Nabi SAW menyuruh untuk berlaku ihsan terhadap semua makhluk Allah, yang hidup maupun yang sudah mati, manusia maupun binatang. Penyembelih atau tukang potong tidak boleh menakut-nakuti hewan sembelihan, pisaunya harus tajam, tidak boleh menyakiti hewan kurban dengan mengambil sebagian dari dagingnya sebelum disembelih, sembelihlah binatang itu dengan baik.
- Idzhaarul Manaafi' Duniawiyyah wal Ukhrawiyyah,yakni tujuan menampakkan manfaat duniawi dan ukhrawi dari inti-inti ajaran Islam, seperti tujuan kesehatan pada menyedekahkan dagingnya, tujuan ekonomi pada pembelian hewan, tujuan budaya pada kedatangannya setiap tahun, tujuan sosial pada berhimpunnya banyak jama'ah saat penyembelihan dan pembagian dagingnya, dan sebagainya. Dalam kurban, nilai-nilai solidaritas sosial betul-betul nampak. Setiap insan harus saling mengasihi dan menyayangi, peduli terhadap orang lain, dan membantu orang-orang yang tidak mampu. Manusia adalah makhluk zon politicon, yaitu makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, ia membutuhkan bantuan orang lain.Dengan berkurban berarti kita sudah peduli dengan lingkungan sekitar kita, khususnya bagi mereka yang hampir sepanjang tahunnya tidak mampu menikmati daging, karena tergolong fakir atau miskin. Berkurban berarti ikut membantu beban penderitaan orang lain yang lagi kesusahan. Mungkin saatnyalah kita senantiasa berempati kepada sesama agar hidup ini penuh berkah dan berarti bagi diri sendiri, orang lain dan tentunya bagi Allah SWT.
- Al-Quwwatu Fil-‘Aqiidah.Dengan menyembelih hewan kurban, kita diingatkan untuk selalu menyebut asma Allah sambil mengenang jejak sejarah anak Nabi Adam dan napak tilas nilai perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dengan isteri dan anaknya, sekaligus nilai sejarah Masy'aril Haram dari 'Arafah, Mudzdalifah, Mina dan tempat bersejarah lainnya. Dengan senantiasa menyebut nama Allah, keyakinan kita terhadap-Nya semakin kuat. Dimana dan kapan pun berada, kita selalu mengingat-NyA.
- Al-Idzhaabu Shifaati Hayawaan.Kurban mendidik manusia untuk menghilangkan sifat-sifat kebinatangan, seperti rakus, tamak, dan lain-lain. Di samping itu, pekerjaan atau profesi yang menjurus kepada kemaksiatan sehingga pelakunya sering dipanggil dengan idiom-idiom atau jargon-jargon binatang harus dihindari. Penyebutan panggilan tersebut contohnya: lelaki hidung belang (sebutan bagi lelaki yang suka berzina), kupu-kupu malam (sebutan bagi perempuan pelacur/pezina), lintah darat (sebutan bagi para rentenir), buaya darat (sebutan bagi lelaki/perempuan gombal yang suka berbohong/berdusta/bersilat lidah), tikus-tikus kantor (sebutan bagi orang yang suka korupsi). Sebutan-sebutan tersebut identik dengan dosa dan kemaksiatan, maka wajib bagi umat Islam untuk menjauhinya.
- Idzhaaruut Taqwa Ilallooh.Kurban merupakan perwujudan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Implementasi dari rasa dan sikap umat untuk mengerjakan perintah-Nya. Firman-Nya dalam SuratAl-Hajj ayat 37: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
(Dimuat di Majalah Qalam MUI Kota Tasikmalaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar