Sejarah Puasa dalam Peradaban Islam. Secara bahasa,
puasa berasal dari bahasa Arab, Shaum (jamaknya Shiyam) yang bermakna
al-Imsak (menahan), sedangkan menurut istilah, puasa itu menahan makan
dan minum serta semua yang membatalkannya dari terbit fajar hingga
terbenam matahari. Untuk lebih lanjut mengenal pengertian puasa, syarat
syah puasa dan jenis-jenis puasa serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan puasa .
Adapun menurut Ulama terkemuka Syekh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan puasa sebagai menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut serta faraj (kemaluan), dan dari segala sesuatu yang masuk ke kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat, dan semacamnya pada waktu tertentu-mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
Menurut Syekh az-Zuhaili, puasa dilakukan oleh Muslim yang berakal, tidak haid, dan juga tidak nifas dengan melakukannya secara yakin. Setiap Muslim yang beriman diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Perintah berpuasa telah ditegaskan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 183:
Artinya : Hai orang2 yg beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang2 sebelum kamu,agar kamu bertaqwa
Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad SAW mulai turun pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun setelah umat Islam hijrah ke Madinah. “Ketika itu,Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi,” tulis Ensiklopedi Islam.
Puasa Ramadhan dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan tersebut. Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tak dapat dilihat dan disaksikan, bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadhan baru dimulai pada tahun kedua Hijriah.
Menurut riwayat lain, sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10 Muharam, sampai datang perintah puasa wajib di bulan Ramadhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa puasa Asyura tak ada hubungannya dengan peringatan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib yang biasa diperingati oleh penganut Syiah. Namun demikian, sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia, ada yang rutin melaksanakan puasa Asyura.
Rasulullah pun terbiasa berpuasa pada hari Asyura. Bahkan, Rasul SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Menurut Ibnu Umar RA, Rasulullah pernah berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar) untuk berpuasa juga. Namun, saat datang perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura itu ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.
Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasul SAW dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah.
Menurut riwayat, Rasul SAW tiba di kota itu pada Rabiul Awal, sedangkan perintah puasa Asyura itu disampaikan pada awal tahun kedua. Kemudian, pada tahun kedua hijrah saat memasuki bulan Ramadhan, turunlah wahyu yang berisi perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan. Dan puasa Asyura hanya satu kali dilaksanakan sebagai puasa wajib.
Menentukan Awal & Akhirnya Puasa Ramadhan
Adapun menurut Ulama terkemuka Syekh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan puasa sebagai menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut serta faraj (kemaluan), dan dari segala sesuatu yang masuk ke kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat, dan semacamnya pada waktu tertentu-mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
Menurut Syekh az-Zuhaili, puasa dilakukan oleh Muslim yang berakal, tidak haid, dan juga tidak nifas dengan melakukannya secara yakin. Setiap Muslim yang beriman diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Perintah berpuasa telah ditegaskan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 183:
Artinya : Hai orang2 yg beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang2 sebelum kamu,agar kamu bertaqwa
Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad SAW mulai turun pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun setelah umat Islam hijrah ke Madinah. “Ketika itu,Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi,” tulis Ensiklopedi Islam.
Puasa Ramadhan dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan tersebut. Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tak dapat dilihat dan disaksikan, bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadhan baru dimulai pada tahun kedua Hijriah.
Menurut riwayat lain, sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10 Muharam, sampai datang perintah puasa wajib di bulan Ramadhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa puasa Asyura tak ada hubungannya dengan peringatan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib yang biasa diperingati oleh penganut Syiah. Namun demikian, sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia, ada yang rutin melaksanakan puasa Asyura.
Rasulullah pun terbiasa berpuasa pada hari Asyura. Bahkan, Rasul SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Menurut Ibnu Umar RA, Rasulullah pernah berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar) untuk berpuasa juga. Namun, saat datang perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura itu ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.
Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasul SAW dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah.
Menurut riwayat, Rasul SAW tiba di kota itu pada Rabiul Awal, sedangkan perintah puasa Asyura itu disampaikan pada awal tahun kedua. Kemudian, pada tahun kedua hijrah saat memasuki bulan Ramadhan, turunlah wahyu yang berisi perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan. Dan puasa Asyura hanya satu kali dilaksanakan sebagai puasa wajib.
Menentukan Awal & Akhirnya Puasa Ramadhan
Salah satu kemudahan yang telah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ajarkan dan diamalkan oleh para
shahabat yang mulia adalah menentukan permulaan Ramadhan dan Syawwal
dengan cara ru`yatul hilal, bukan dengan hisab falaki. Metode hisab
memang terkesan canggih dan memiliki presisi yang secara hitungan
matematis pun masuk akal. Tetapi apakah cara hisab falaki yang Allah
syariatkan bagi umat Islam? Ternyata tidak, saudaraku.
Hendaknya dipahami oleh kita semua bahwa
pembicaraan tentang kapan dimulainya puasa Ramadhan dan hari raya Idul
Fitri adalah pembicaraan tentang syariat. Secara khusus, pembahasan ini
memuat tentang waktu-waktu dilaksanakannya ibadah puasa Ramadhan yang
wajib kita kerjakan. Tentunya, Allah Ta’ala telah memberikan bimbingan
dan petunjuk yang sempurna untuk menentukan kapan dilaksanakan
peribadatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Al-Baqarah: 189)
“Berpuasalah kalian dengan terlihatnya
(hilal) dan berbukalah (beridul fitri) dengan terlihatnya. Maka jika
(hilal) tersembunyi dari kalian, sempurnakanlah bilangan hari bulan
Sya‟ban menjadi 30 hari.” (HR al-Bukhari no. 1909)
Benarlah, Islam itu mudah, saudaraku.
Kita tidak perlu menghitung ketinggian, derajat, dan memakai rumus-rumus
matematika yang rumit, cukup dengan mengamati hilal, dan Islam memang
mudah. Umat sejak beberapa lama justru dibuat bingung dengan perbedaan
dimulainya Ramadhan dan Syawwal. Bahkan di satu keluarga tidak jarang
terjadi perbedaan pula. Betapa indahnya jika kita mau rukun dan
bersama-sama tunduk kepada aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
menggunakan hilal sebagai penunjuk waktu dimulainya Ramadhan
dan Syawwal. Ingatlah bahwa kita sedang menjalankan syariat-Nya,
bukan sebatas memastikan apakah hilal sudah mencapai lebih dari 2
derajat ataukah tidak. Jika tidak terlihat, apa mau dikata? Tentu kita
harus tunduk kepada syariat Allah Ta’ala untuk menggenapkan hitungan
bulan menjadi 30 hari. Alih-alih hendak memberi kemudahan dengan hisab
falaki sehingga bisa memperkirakan dimulainya Ramadhan sejak jauh-jauh
hari bahkan dalam hitungan tahun, maka di antara ormas Islam ada yang
berani mengumumkan kapan Ramadhan dan kapan Idul Fitri sejak dua bulan
sebelumnya. Sikap seperti ini justru menambah runcing perbedaan di
antara umat dan menimbulkan keresahan. Semestinya umat diajari dan
dibimbing untuk patuh kepada syariat AllahTa’ala dengan menerapkan
metode ru`yatul hilal (melihat hilal), bukan dengan menutup mata darinya
dan mencukupkan dengan perhitungan (hisab) yang tidak ada landasan
syar’inya.
Semoga bisa diambil manfaatnya & Puasa Ramadhan tahun ini bisa menjadi Ramdhan yg Berkah bagi kita semua,Amiin .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar