“Jika sebuah bangsa hanya memperhatikan harta, mengabaikan cita-cita, maka bangsa itu bukanlah bangsa yang besar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang hidup dengan cita-cita, memelihara jiwa sekaligus raganya. Tetapi harta bukanlah yang utama. Sebab bukanlah harta yang memerdekakan bangsa dan rakyat kita, melainkan jiwa, sekali lagi jiwa kita yang membaja, semangat kita yang membara yang membawa kita semua ke dalam kemerdekaan, maka Bangunlah Jiwa Rakyat Indonesia, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Jaya”
Demikianlah pesan gaib Bung Karno yang
disampaikan kepada Kusumo Lelono, seperti yang ditulisnya dalam ‘Satrio
Piningit’ (Gramedia Pustaka Utama/1999). Menurut Lelono, Bung Karno
menggunakan kepercayaan masyarakat akan ramalan Prabu Jayabaya untuk
membangkitkan semangat keberanian yang tinggi di kalangan rakyat pada
massa perjuangan. Jadi tidak heran, jika hingga kini getar suara Bung
Karno itu masih terasa di denyut nadi perjuangan kita, dan sosoknya pun
seperti masih bernyawa.
Menurut Lelono, berdasarkan manuskrip
kuno Ramalan Prabu Jayabaya, seorang raja yang pernah tercatat
memerintah kerajaan kediri pada abad ke-12 (1137-1159) bahwa saat ini
Indonesia sedang berada dalam masa antara akhir zaman Kalabendu dan sedang menanti kehadiran zaman Kalasuba.
Di Zaman Kalabendu, di kisahkan bahwa Pada
masa pemerintahan raja Hartati – yang menjadi tujuan utamanya hanyalah
harta benda – terjadi istana kembar Pajang dan Mataram. Persembahan
rakyat beraneka ragam: ada emas-perak, beras, padi, dan lain sebagainya.
Semakin lama pajak yang ditanggung oleh rakyat semakin berat, berupa
senjata, hewan peliharaan, dan lain sebagainya. Negara semakin rusak,
tiada lagi keadilan, karena para pembesar berlaku menyimpang, rakyat
kecil tidak menghargai. Yang memimpin tak memiliki keadilan karena tiada
memegang wahyu. Banyak wahyu setan, yang tidak karuan.
Kaum hawa kehilangan rasa malu, tiada
memiliki rasa rindu kepada anak-anak dan saudaranya. Tidak ada berita
benar, banyak kemelaratan, sering terjadi kerusuhan, orang pandai dan
bijaksana tersingkir, perbuatan jahat meraja lela, yang berlaku kurang
ajar mendapatkan posisi, tidak dapat diberi peringatan, banyak pencuri
beraksi di jalanan, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan,
hujan abu dan gempa bumi, kacau balau, hujan salah musim, perang rusuh
di mana-mana tanpa musuh yang jelas.
Selanjutnya pada Zaman Kalasuba,
diramalkan saat itu telah dekat dengan akhir zaman Kalabendu.
Pemerintahan jatuh karena sang pemimpin bertengkar dengan madunya,
muncullah zaman kemuliaan. Saat itu ‘pulau jawa’ (baca: Indonesia)
sejahtera, semua kerusakan dunia musnah dengan munculnya pemimpin gaib,
yakni keturunan ulama yang disebut Ratu Amisan karena kondisinya yang
hina dan papa, memegang tampuk kekuasaan tanpa syrat, bertindak
bijaksana. Beristanakan Sunyaruri, yang bermakna sunyi senyap, tetapi
tanpa rintangan. Saat masih menjadi rahasia Tuhan, kerenanya perkaranya
dianggap kurang penting maka khalayak umum tidak mengetahuinya. Kehendak
Tuhan memutarbalikkan keadaan: Ia menjadi pemimpin sekaligus ulama,
bersikap adil, jauh dari sifat duniawi, disebut Sultan Herucakra.
Sang raja muncul tanpa asal, memiliki
bala tentara Sirullah, keutamaannya dzikir, tetapi semua musuh takut.
Yang memusuhi hancur lebur tersingkir, sebab raja menghendaki
kesejahteraan Negara, keselamatan dunia.
Itulah ramalan Prabu Jayabaya, seperti yang ditulis Lelono. Indonesia saat ini sedang berada di ujung Kalabendu, sambil menanti kedatangan zaman baru, zaman Kalasuba.
Pertanyaan kita, adakah fakta yang menunjukkan kebenaran ramalan Prabu
Jayabaya atas situasi real bangsa saat ini? Penulis berpendapat bahwa
ramalan Jayabaya ada benarnya, dan di bawah ini penulis hanya
menunjukkan beberapa fakta secara garis besar, sejauh dapat ditafsirkan.
Pertama,
merajalelanya korupsi di tanah air, dalam berbagai bentuk, tingkatan
jabatan dan kekuasaan. Ini menandakan bahwa harta kekayaan dalam rupa
uang masih menjadi orientasi politik kekuasaan, baik itu dilakukan oleh
elite politik maupun oleh masyarakat. Uang telah membutakan mata hati,
bukan hanya pejabat politik tingkat elite tetapi juga telah sampai ke
desa-desa.
Kedua, tidak
adanya kepastian hukum. Upaya penegakan hukum masih terbentur pada
kepentingan politik tertentu. Sehingga membawa akibat pada tidak
terlaksanya keadilan, juga yang lebih serius adalah tidak ditegakkannya
hak asasi manusia dalam hukum. Eksekusi mati, yang masih berlaku di
negeri ini menjadi indikasi hilangnya penghargaan terhadap hak asasi
manusia.
Ketiga,
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok pemimpimnya.
Kecenderungan para pemimpin negara untuk mementingkan diri sendiri,
mengejar kehendaknya sendiri dan tidak pro-rakyat memberi dampak pada
keengganan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam berpolitik.
Keempat,
kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Orientasi politik
elite negeri yang hanya mementingkan segelintir orang terbaca jelas
dalam kebijakan-kebijakan yang dileuarkan. Inilah ‘wahyu setan’ seperti
yang dikatakan Prabu Jayabaya.
Kelima,
moralitas yang tercabik dan kesejahteraan sosial yang terbengkalai.
Munculnya berbagai aksi kejahatan, pemerkosaan, penceraian, saling
fitnah dan menfitnah, isu dan gosip murahan, sampai isu separatisme dan
disintegrasi menjadi indikasi jelas akan hal tersebut.
Keenam,
kemiskinan secara ekonomis. Kemelut ekonomi masih mendera kehidupan
masyarakat banyak, sementara tuntutan negara terhadap masyarakat
melambung tinggi di luar batas kemampuan, misalnya semakin besarnya
jumlah pajak, mahalnya bahan-bahan pokok atau vital seperti sandang dan
pangan. Hal ini semakin diperparah dengan situasi atau kondisi alam yang
tidak memungkinkan, seperti kering yang berkepanjangan dan ketakutan
akan bahaya alam yang terus mengintai setiap saat seperti banjir, tanah
longsor, gempa bumi dan tsunami.
Ketujuh, di hadapan situasi runyam di atas, masyarakat tampaknya merindukan seorang Sultan Herucakra, seorang Satrio Piningit. Dalam ramalan Jayabaya tokoh ini dilambangkan sebagai Tunjung Putih Semune Pudak Sinumpet. Maknanya kurang lebih adalah ‘seorang berhati suci, masih disembunyikan identitasnya oleh kegaiban Tuhan‘
Apakah zaman Kalasuba akan terbit esok
hari ketika pesta demokrasi lima tahunan terjadi? Ataukah kita masih
harus menunggu hingga tahun 2030, seperti yang termaktub dalam visi
Indonesia 2030? Atau kita masih tunggu sampai waktu bertutur pada setiap
detik yang risau? Kita sama-sama menanti sambil terus mengintip
kebenaran ramalan Prabu Jayabaya. Tapi kita harus tetap optimis bahwa
suatu saat – entah kapan – zaman kemuliaan itu akan datang juga.
“Perhatikanlah wahai Rakyatku, bahwa
kejayaan Bangsa dan Tanah Airmu, yakni zaman keemasan Indonesia akan
sampai pada saatnya. Ketika itu, Indonesia akan terkenal di dunia,
berada pada tingkatan utama di antara bangsa-bangsa. Sebagai tanah yang
penuh kerahmatan Tuhan Yang Maha Esa” demikian pesan gaib Bung Karno
kepada Kusumo Lelono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar