Itulah satu penggalan peristiwa heroik dan dramatis, di awal berdirinya Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Kisah ini diceritakan dengan menyentuh oleh salah satu pelaku peristiwa 10 November 1945 Sutomo.
Dalam catatannya, pria yang akrab disapa Bung Tomo ini melukiskan saat-saat sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi. Dimulai dari siaran proklamasi oleh Kantor Berita DOMEI, di sebuah desa, di Surabaya, Jawa Timur.
Mendengar kabar itu, dengan spontan penduduk desa mengibarkan sang saka Merah Putih. Hampir disetiap pelosok kampung, mulai dari lorong-lorong sempit, hingga jalan-jalan utama desa, terpasang bendera Merah Putih.
Serdadu Jepang yang menyaksikan peristiwa itu pun tertegun. Mereka tampak kagum dengan semangat pemuda. Tersenyum simpul, mereka ikut berbahagia bersama rakyat dari sebuah bangsa yang baru merdeka.
Tidak lama kemudian, Soekarno kembali berpidato. Dia menegaskan posisi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Namun, nadanya terdengar ragu, hingga terjadilah satu kekosongan sejarah.
Di sinilah, pemuda mengambil peranan penting. Mereka mulai menurunkan bendera Jepang, dan mengibarkan bendera merah putih, tepat di hadapan bayonet serdadu Nippon yang terhunus.
Inilah satu percobaan pemindahan lambang kekuasaan oleh Republik Indonesia yang pertama. Kendati tidak berjalan mulus, akhirnya pemuda berhasil menguasai seluruh kantor-kantor pemerintahan di Jawa Timur.
Di tengah suasana merdeka itu, Belanda mencoba menjalankan rencana busuknya dengan mendirikan benteng di markas Palang Merah Internasional (PMI). Mereka memanfaatkan hubungan NICA dan Jepang.
NICA merupakan sebagian dari kekuatan sekutu. Beberapa waktu kemudian, diterjunkan sekelompok sedadu penerjun payung, di Surabaya. Peristiwa ini langsung menimbulkan tanda tanya republik.
Hingga akhirnya, pada 31 Agustus 1945, saat Hari Ulang Tahun Ratu Belanda Wilhelmina, pihak Belanda meminta izin kepada pembesar di Surabaya agar dibiarkan memasang bendera tri warna di tengah revolusi.
Permintaan itu pun ditolak. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari para pemuda Belanda, dan kawan-kawannya. Mereka kemudian membentuk gerombolan-gerombolan, untuk memancing kerusuhan dan emosi pemuda.
Puncaknya terjadi pada 18 September 1945. Dua orang pemuda Belanda Ploegman dan Spit mengibarkan bendera tri warna di puncak gedung Oranje Hotel. Peristiwa itu dengan cepat menyulut emosi rakyat.
Tidak terlalu lama, rakyat sudah berkumpul di sekitar hotel. Mereka membawa parang, pedang, tombak, dan bambu runcing. Di dalam hotel, sudah banyak pemuda Belanda, dan pasukan penerjun payung.
Kemudian tentara Jepang datang dengan bayonet terhunus. Kehadiran tentara Nippon membakar emosi rakyat yang menyambutnya dengan lemparan batu. Bentrokan pun pecah. Lemparan batu langsung menghujani Oranje Hotel.
Ketika rakyat meringsek masuk ke dalam gedung, meletuslah suara tembakan. Mendengar tembakan pihak Belanda, massa bukan malah takut. Tetapi makin berani. Sekarang, senjata yang mereka bawa sudah mulai digunakan.
Saat bentrokan hebat terjadi, beberapa pemuda republik menerobos masuk, coba ke atas gedung. Namun seorang jatuh, setelah dipukul dari belakang oleh pemuda Belanda berbadan kekar.
Sampai akhirnya, pemuda republik berhasil menurunkan tri warna, dan merobek warna biru hingga tinggal tampak warna merah dan putih saja. Kemudian, bendera dwi warna itu dikibarkan lagi.
Pekikan merdeka mengiringi naiknya sang Merah Putih. Sebelum membubbarkan diri, para pemuda sempat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam peristiwa ini, Ploegman dinyatakan tewas.
Setelah peristiwa itu, sikap pemuda semakin berani. Mereka mulai merebut mobil tentara Nippon, dilanjutkan dengan melucuti senjata tentara Nippon. Senjata-senjata inilah yang digunakan pihak republik dalam pertempuran dasyat 10 November 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar